Ini Lho Batasan Cium Tangan Guru Menurut Islam
![]() |
| Ilustrasi cium tangan guru. dok. Chat GPT AI |
Cium tangan guru masih jadi tradisi di pesantren. Tapi, apa batasannya menurut Islam? Yuk simak penjelasan ulama biar nggak salah paham!
Kalau kamu pernah nyantri, pasti udah nggak asing dengan tradisi mencium tangan kiai atau ustadz saat bersalaman. Buat sebagian orang, ini bukan sekadar kebiasaan, tapi bentuk rasa hormat kepada sosok yang dianggap berjasa dalam menuntun ilmu agama. Tapi di era sekarang, banyak juga yang mulai bertanya-tanya: “Apakah mencium tangan guru itu masih relevan? Jangan-jangan malah berlebihan?”
Pertanyaan itu wajar banget, apalagi dengan semakin gencarnya seruan untuk kembali pada kemurnian ajaran Islam. Sebagian orang menganggap tindakan seperti mencium tangan bisa mengarah ke pengkultusan. Tapi di sisi lain, banyak ulama yang menyebut bahwa selama dilakukan dengan niat yang benar, justru itu termasuk bentuk adab yang mulia terhadap orang berilmu.
Nah, biar nggak asal menilai, penting buat kita tahu dulu gimana pandangan Islam tentang hal ini. Ternyata, tradisi mencium tangan bukan hal baru, bahkan sudah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi, tentu aja ada batasannya. Yuk, bahas satu-satu!
Boleh Kok, Asal Niatnya Karena Ilmu dan Ketakwaan
Dalam sejarah Islam, mencium tangan sebagai bentuk penghormatan ternyata punya dasar yang kuat. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa para sahabat pernah mencium tangan bahkan kaki Rasulullah SAW. Dalam hadis riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa saat para sahabat dari suku Abdil Qais datang ke Madinah, mereka bergegas turun dari tunggangan, lalu mencium tangan dan kaki Nabi sebagai wujud cinta dan hormat.
Dari hadis ini, para ulama sepakat bahwa mencium tangan seseorang boleh dilakukan selama alasannya adalah karena keilmuannya atau ketakwaannya kepada Allah. Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Asna al-Mathalib menjelaskan:
“Disunahkan mencium tangan orang yang masih hidup karena kesalehan, ilmu, atau kemuliaan agamanya, sebagaimana para sahabat mencium tangan Nabi SAW.”
Tapi beliau juga menambahkan catatan penting: mencium tangan karena jabatan, kekayaan, atau hal duniawi lainnya justru makruh alias sebaiknya dihindari. Jadi, kuncinya ada pada niat. Kalau niatnya tulus menghormati karena ilmu dan kebaikan seseorang, maka boleh. Tapi kalau karena status sosial, kekuasaan, atau mencari muka — itu udah beda cerita.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ juga memperkuat hal ini. Beliau menegaskan bahwa mencium tangan boleh dilakukan selama tidak disertai pengagungan yang berlebihan. Islam sangat tegas membedakan antara adab (sopan santun terhadap guru dan orang berilmu) dengan pengkultusan (menganggap seseorang punya kekuatan atau keistimewaan di luar batas).
Selain itu, Islam juga melarang keras segala bentuk sujud kepada selain Allah. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Artinya, sujud dalam bentuk penghormatan pun nggak boleh. Maka, mencium tangan masih bisa dibolehkan selama tidak menyerupai bentuk penghambaan. Intinya: cium tangan karena adab, bukan karena pengagungan.
Jaga Batasan, Jangan Sampai Jadi Pengkultusan
Nah, sekarang kita masuk ke batasannya. Meski diperbolehkan, bukan berarti semua bentuk “cium tangan” atau penghormatan fisik dianggap baik. Para ulama menegaskan bahwa tindakan berlebihan justru bisa mengubah maknanya dari adab menjadi pengkultusan.
Dalam kitab yang sama, Asna al-Mathalib, Syekh Zakaria menyebut:
“Dimakruhkan saling berangkulan dan mencium kepala atau wajah ketika bertemu, meskipun yang dicium adalah orang saleh.”
Kenapa dimakruhkan? Karena Islam sangat hati-hati terhadap bentuk penghormatan yang bisa menimbulkan kesan pengagungan. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri tidak suka diagungkan secara berlebihan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, beliau menolak jika sahabat berdiri menyambutnya seperti orang-orang nonmuslim menyambut pemimpinnya.
Artinya, Islam ingin menjaga keseimbangan antara menghormati dan mengagungkan. Menghormati guru itu wajib secara adab, tapi menganggap guru memiliki kekuatan spiritual tertentu yang bisa mendatangkan berkah tanpa izin Allah, itu sudah menyalahi tauhid.
Nah, di Indonesia, khususnya di pesantren, tradisi mencium tangan guru atau kiai masih sangat kental. Santri melakukannya sebagai simbol hormat dan adab terhadap ilmu. Para kiai pun nggak pernah mewajibkan hal ini, karena mereka tahu, yang paling penting adalah bagaimana murid menjaga ilmu dan akhlaknya.
Bahkan, di kalangan santri, ada pepatah populer: “Siapa yang tidak beradab, maka ilmunya tidak akan bermanfaat.” Jadi, meskipun bentuk adab bisa berbeda-beda, yang terpenting adalah niat dan rasa hormat itu tetap terjaga. Kalau kamu nggak mencium tangan tapi tetap sopan, santun, dan rendah hati di hadapan guru, itu juga sudah cukup.
Islam nggak pernah memaksakan bentuk penghormatan tertentu. Tapi Islam sangat menekankan bagaimana hati dan perilaku kita kepada orang berilmu. Selama niatnya benar, mencium tangan bisa jadi tanda cinta dan penghormatan yang berpahala.
Di akhir, yuk kita sama-sama luruskan niat dalam setiap bentuk penghormatan. Kalau mencium tangan guru atau kiai, pastikan tujuannya karena rasa hormat terhadap ilmu, bukan karena menganggap mereka punya kekuatan khusus. Dan kalau kamu memilih tidak melakukannya, tetaplah jaga adab dan sopan santun kepada guru, karena dari merekalah ilmu datang.
Dalam Islam, menghormati guru bukan soal gengsi atau kebiasaan, tapi soal hati dan niat. Jadi, cium tangan boleh — asal tahu batasannya. Yuk, jaga adab, hormati guru, dan amalkan ilmunya dengan tulus. Karena keberkahan ilmu datang bukan dari ritual, tapi dari niat yang benar dan hati yang bersih.***


No comments